8.1 Ketentuan Islam tentang wakaf
beserta hikmah pelaksanaanya.
a.
Pengertian
wakaf
Secara
etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia
merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya
berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan
harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik
untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai
satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik
atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya
(al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama
berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa
akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti
menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang
kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam.
Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan
serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya
saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf
antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i
dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk
bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan
harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi
adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum
milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia
melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa
memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh
dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan
Pengertian wakaf menurut
imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas
kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan
manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan
definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang
yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli
warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi
ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad,
sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki
adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari
harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat
tersebut walaupun sesaat
Pengertian wakaf menurut peraturan
pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan
tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh
karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis
dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan
sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala,
pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
b.
Hukum
wakaf
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah.
Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah)
biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf.
Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang
diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah.
Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ
عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ
اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam
meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu
sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh
yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang
diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta
wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya
Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada
Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan
tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan
tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Macam-macam
wakaf berdasarkan bentuk hukumnya ada dua katagori, yaitu :
1)
Pertama,
macam-macam wakaf berdasarkan cakupan tujuannya, yaitu :
(a)
Wakaf umum, adalah wakaf yang tujuannya
mencakup semua orang yang berada dalam tujuan wakaf, baik cakupan ini untuk
seluruh manusia, atau orang-orang yang berada di daerah mereka. Jika wakaf
tujuannya umum untuk fakir miskin, maka perlu diperjelas mencakup orang-orang
miskin dari kalangan muslim dan non-muslim atau orang-orang miskin dari
kalangan muslim saja, atau orang-orang miskin dari kalangan non-muslim saja,
atau orang-orang muslim yang berada tanpa daerah yang lain.
(b)
Wakaf khusus atau wakaf keluarga, adalah
wakaf yang manfaat dan hasilnya diberikan oleh wakif kepada seseorang atau
sekelompok orang berdasarkan hubungan dan pertalian yang dimaksud oleh wakif.
Contohnya wakaf untuk tetangga dengan jumlah dan nama yang telah ditentukan
oleh wakif.
(c)
Wakaf gabungan, adalah wakaf yang
sebagian wakaf manfaat dan hasilnya diberikan khusus untuk anak dan keturunan
wakif, serta selebihnya disalurkan untuk kepentingan umum. Wakaf gabungan ini
pada realitanya lebih banyak dari wakaf keluarga, karena biasanya wakif menggabungkan
manfaat wakafnya untuk tujuan umum dan khusus, seperti separuh untuk keluarga
dan anak-anaknya dan separuhnya lagi untuk fakir miskin.
2) Kedua,
macam-macam wakaf berdasarkan kelanjutannya sepanjang zaman, yaitu :
(a)
Wakaf abadi, yaitu wakaf yang
diikrarkan selamanya tetap berlanjut sepanjang zaman. Wakaf yang sebenarnya dalam islam adalah wakaf
abadi, yang pahalanya berlipat ganda dan terus berjalan selama wakaf itu masih
ada. Pahala wakaf ini mengalir untuk wakif selama wakafnya terus berlangsung.
Keabadian
wakaf biasanya berlangsung secara alami pada wakaf tanah. Sedangkan bangnunan
benda lainnya tidak mungkin berlangsung kekal tanpa ada penambahan barang baru
lainnya, baik itu berupa perawatan dan rehabilitasi yang berkelanjutan atau
menggantikan benda baru atas kebijaksanaan nazir wakaf.
Apabila
benda wakaf tidak mempunyai sumber dana untuk pembiayaan perawatan dan
rehabilitasi, maka semua wakaf selain tanah sifatnya sementara. Karena wakaf
selain tanah akan rusak dan punah.
(b)
Wakaf sementara, yaitu wakaf yang
sifatnya tidak abadi, baik dikarenakan
bentuk barangnya maupun keinginan wakif sendiri.
3) Macam-macam wakaf berdasarkan
tujuannya
Dalam
sejarah pelaksanaan wakaf, yang terspenting dalam macam-macam wakaf adalah
wakaf bedasarkan tujuannya. Adapun beberapa macam wakaf berdasarkan tujuannya
diantaranya :
(a) Wakaf
air minum. Wakaf ini termasuk di antara tujuan wakaf yang pertama dalam islam
dan tercermin dalam wakaf Utsman bin Affan ra yang berupa sumur Raumah
(b) Wakaf
sumur dan sumber mata air di jalan-jalan yang biasa menjadi lalu lintas jamaah
haji yang datang dari Iraq, Syam, Mesir dan Yaman, serta kafilah yang bepergian
menuju India dan Afrika. Diantara sumur wakaf pada saat itu adalah wakaf sumur
dari Zubaidah, istri seorang Khalifah di zaman pemerintahan Abbasiah, yaitu
Harun Ar-Rasyid yang namanya dikenal sepanjang jalan dari Baghdad hingga Hijaz.
Selain itu, untuk memberikan pelayanan kepada jamaah haji, telah dibangun
tempat peristirahatan di jalan-jalan utama yang membentang dari daerah
Samarkhan hingga Vas. Sebagian dari bangunan tempat peristirahatan tersebut
telah dibangun pada masa seratus tahun pertama Hijriyah dan mengalami
penyempurnaan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis dengan fasilitas yang
meliputi tempat peristirahatan binatang tunggangan. Umumnya tempat
peristirahatan tersebut juga menyediakan makan dan minum bagi tamu yang
menginap.
(c) Wakaf
jalan dan jembatan untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat. Wakaf
pelayanan jalan biasanya diikuti dengan wakaf penerangan di jalan-jalan yang
menyala sepanjang malam dan penyediaan tempat bermalam bagi orang-orang asing
yang datang. Wakaf tempat peristirahatan ini biasanya diikuti dengan wakaf
kamar mandi dan tempat bersuci serta berbagai kepentingan umum lainnya.
(d) Wakaf
khusus bantuan untuk fakir miskin dan orang-orang yang sedang bepergian. Wakaf
ini telah ada pada masa awal islam ketika Umar bin Ali Khathab ra memberi wakaf
khusus membantu fakir miskin dan orang-orang yang sedang bepergian atas saran Nabi
Muhammad SAW. Sepanjang sejarah islam, bentuk wakaf seperti ini merupakan
tujuan wakaf yang paling banyak.
(e) Wakaf
pembinaan sosial bagi mereka yang membutuhkan, diantara yang termasuk wakaf sosial ini diantaranya adalah,
wakaf untuk pembinaan anak-anak, seperti penyediaan susu bagi keluarga yang
membutuhkan untuk anak-anaknya, wakaf penyediaan obat-obatan untuk penyakit
anak-anak, wakaf pembinaan perempuan, terutama bagi perempuan-perempuan yang
berasal dari kalangan yatim piatu atau perempuan yang disakiti suaminya dan
kabur dari rumahnya agar ditampung di asrama, diberi makan dan diupayakan untuk
kembali hidup rukun dengan suaminya atau diuruskan perceraiannya ke pengadilan
dan wakaf untuk membantu orang-orang yang sedang mengalami tekanan batin dan stress,
yaitu dengan cara menenangkan dalam waktu dekat, mengunjunginya dan memberikan
solusi atas beban yang dipikulnya.
(f) Wakaf
sekolah dan universitas serta kegiatan ilmiah lainnya. Dalam sejarah, wakaf ini
termasuk diantara tujuan wakaf yang paling mendapat perhatian dari kaum
muslimin. Hampir di setiap kota besar di negara-negara islam di dunia terdapat
sekolah dan universitas serta Islamic Center yang berasal dari wakaf
(g) Wakaf
pelayanan kesehatan. Wakaf ini meliputi pembangunan puskesmas dan rumah sakit, pemberian
obat-obatan, gaji dokter dan perawat termasuk gaji pekerja rumah sakit lainnya
dan perlengkapan peralatan medis lainnya.
(h) Wakaf
pelestariaan lingkungan. Wakaf ini menunjukan bahwa dalam islam wakaf bukan
saja untuk pembinaan komunitas manusia, tetapi juga untuk pelestarian cagar
budaya dan lingkungan, contohnya wakaf untuk pemeliharaan aliran air dan
pelestarian sungai.
c.
Syarat
dan Rukun wakaf
1) Syarat Wakaf
Syarat-syarat harta yang diwakafkan
sebagai berikut:
a)
Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak
terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
b)
Tunai tanpa menggantungkan pada suatu
peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat
keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
c)
Jelas mauquf alaih nya (orang
yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu
2) Rukun Wakaf
a)
Orang yang berwakaf (wakif),
syaratnya;
- kehendak sendiri
- berhak berbuat baik walaupun non Islam
b)
sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf),
syartanya;
Ø
barang yang dimilki dapat dipindahkan
dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
Ø
milki sendiri walaupun hanya sebagian
yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan
bagian yang lain
c)
Tempat berwakaf (yang berhaka menerima
hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak
syah.
d)
Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini
kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul
(jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum)
3)
Hukum
mengganti barang wakaf
Tentang penggantian/perubahan benda
wakaf di atas menurut pendapat imam madzhab yang erat kaitannya dari pengaruh
pengertian wakaf yang dikemukakannya, maka berikut ini menurut pendapat Ibnu
Taimiyah bahwa mengganti apa yang diwakafkan dengan sesuatu yang lebih baik ada
dua macam:
Pertama, penggantian
karena kebutuhan, misalnya karena macet maka dijual dan hasilnya dipergunakan
untuk membeli apa yang dapat menggantikannya; misal kuda yang diwakafkan untuk
perang bila tidak mungkin lagi dimanfaatkan dalam peperangan maka ia dapat
dijual dan hasilnya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya;
masjid jika rusak dan tidak mungkin diramaikan maka tanahnya dijual dan hasil
penjualannya dapat dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya.
Kedua,
Penggantian karena kepentingan yang lebih kuat, misalnya menggantikan hadiah
dengan apa yang lebih baik dari padanya, masjid bila dibangun masjid lain yang
lebih layak bagi penduduk kampung dan masjid yang lama boleh dijual Pendapat
ini identik dengan pendapat pmam Ahmad ibn Hambal di atas. Karena beralasan
pada sebuali hadis Umar ibn Khattab, yang memindahkan masjid Kufah yang lama ke
tempat yang baru, dan tempat yang lama dijadikan pasar bagi penjual-penjual
Tamar. Contoh lain adalah bahwa Umar ibn Khattab dan Utsman ibn Affan pernah
membangun masjid Nabawi tanpa mengikuti konstruksi pertama dan dengan memberi
tambahan. Berdasarkan fenomena tersebut maka diperbolehkan mengubah bangunan
wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi maslahat yang mendesak.
Prinsip-prinsip
wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya
tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan
tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf
itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau
nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan
gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab
dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan
tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang
diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan
masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas
masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan.
Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan.
Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat
dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.
4)
Hukum
penggunaan harta wakaf dalam transaksi produktif
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf maka pemanfaatan/penggunaan benda wakaf harus dilakukan oleh
Nadzir untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya.
Pemanfaatan tersebut dikelola secara
produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman
modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan,
perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah
susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana
kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
Untuk pengelolaan dan pengembangan
benda wakaf tersebut harus digunakan penjamin yaitu lembaga penjamin syari’ah
dan yang dimaksud lembaga penjamin syari’ah adalah badan hukum yang
menyelenggarakan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan
antara lain : melalui skim asuransi syari’ah, perbankan syari’ah, atau skim
lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5)
Menjelaskan
hikmah wakaf
Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan perintah
Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” (QS Al Hajj : 77)
b)
Memanfaatkan harta atau barang tempo
yang tidak terbatas
Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah
dan untuk kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum
muslimin. Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya:
مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ
الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث)
Artinya: “Barangsiap
yang tidak memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia
dari golonganku.” (Al Hadits)
c)
Mengutamakan kepentingan umum daripada
kepentingan pribadi
Wakaf biasanya
diberikan kepada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan.
Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih berikut ini.
مَصَالِحِ الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى
مَصَالِحِ الْجَاصِّ
Artinya: “Kemaslahatan
umum harus didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
0 comments:
Post a Comment