Just another free Blogger theme

Sponsor

Tuesday, April 16, 2013

Jembatan Akar ( Pesisir Selatan) 


Rupanya, titian akar yang selama ini kita kenal di Puluik Puluik, bukanlah satu satunya jembatan akar di dunia. Masih ada tiga (satu sudah mati) jembatan akar lainnya yang belum terekspos ke luar. Ia tersuruk dari keramaian dan sulit pula dijangkau kendaraan. Meski demikian ketiga titian akar di Pesisir Selatan (Pessel) diperkirakan berumur sama dan dirintis oleh orang yang sama pula. Ketiganya berpotensi pula untuk di garap menjadi objek wisata handal.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang ketiga titian akar tersebut, berikut penulis laporkan dari Bayang Utara, Pesisir Selatan setelah melakukan sejumlah pengumpulan informasi dari warga setempat dan berkunjung langsung ke lokasi. Mulai dari asal usul hingga posisi titian akar dimaksud.
Kita mulai dari titian akar yang paling terkenal. Ia berada disebuah kampung yang bernama Kampung Puluik Puluik, Kenagarian Puluik Puluik, Kecamatan IV Nagari Bayang Utara, Kabupaten Pesisir Selatan (sekitar 25 km dari Pasar Baru, Bayang).
Di sini telah dilahirkan seorang anak yang kemudian tumbuh menjadi manusia kreatif. Anak tersebut bernama Sokan, dan setelah dewasa akrab di panggil Pakiah Sokan.
Pakiah Sokan tinggal tidak jauh dari lokasi titian akar yang ada saat ini. Pada masa belia hingga beranjak dewasa otaknya selalu berfikir untuk memberikan solusi terhadap persoalan buruknya sarana transportasi di kampungnya. Yang paling mendesak menurutnya untuk segera ada adalah jembatan penghubung dari Puluik Puluik ke Lubuk Silau.
Saban waktu disaksikannya warga kampung yang juga tentu anak keponakannya sendiri di Lubuak Silau selalu menyeberangi sungai untuk pergi kepasar atau sekedar ke Puluik Puluik. Atau paling baik sarana yang ada pada saat itu adalah titian dari bambu belaka, setiap kali air sungai ini besar maka jembatan yang terbuat dari bambu ini akan terbawa arus air. Tidak hanya itu, penyeberangan seperti itu sangat membahayakan masyarakat.
Maka terfikirlah untuk membuat jembatan dari akar. Pakiah Sokan melakukan survei terhadap kayu yang memiliki akar kuat dan panjang, dan bisa menyatu satu sama lainnya. Di pelajarinya jenis kayu kayuan di hutan yang ada disekitar kampungnya. Setelah mematut matut apakah gerangan jenis kayu yang bisa dipergunakan untuk bahan pembuat jembatan, akhirnya pilihan jatuh pohon kubang dan beringin. Semuanya telah dengan pertimbangan sangat matang, mulai dari kekuatan pohon, kekuatan akar dan lain sebagainya.
Tahun 1916 Pakiah Sokan ini mulai menanam dua batang pohon tersebut. Masing masing ditanam secara berseberangan, di seberang sebelah Kampung Puluik Puluik ditanam pohon kubang dan diseberang sebelah dusun Lubuak Silau di tanam pohon beringin.
Semenjak ditanam pada tahun 1916 ini, dirawatlah pohon yang kemudian hari menjadi sangat terkenal. Setelah tumbuh dengan baik, maka di pasangnya bambu seperti jembatan sebelumnya dan setalah kayu yang ditanam beliau mulai besar dan akarnya mulai banyak, mulailah Pakiah Sokan menjalin (menganyam) akar ini satu persatu dan mengikuti titian bambu.
"Setiap hari angku Pakiah Sokan menjalin akar demi akar dan sampai terjadinya jembatan akar ini. Pada tahun sembilan puluhan barulah jembatan akar ini di perkenalkan dan di jadikan objek wisata sampai saat ini. Jembatan akar ini sudah dikenali oleh wisatawan lokal dan sebagian wisatawan mancanegara," ungkap Riko Eka Putra" cucu Pakiah Sokan. Demikian titian akar Puluik Puluik.
Lantas titian akar kedua dan ketiga bisa anda temukan dengan bergerak menuju hulu Batang Bayang, tepatnya ke Kampung Bayang Janieh, Nagari Koto Ranah. Dari Puluik Puluik ke ibu nagari Koto Ranah hanya sekitar 2 km, dari ibu nagari ke Kampung Bayang Janieh sekitar 5 km, jalannya agak menantang memang, tapi bagi pecandu suasana alami ini akan menjadi daya tarik sendiri.
Sesampai di gerbang Kampuang Bayang Janieh nan bersahaja itu, anda akan di sambut langsung titian akar yang panjangnya sekitar 12 meter. Modelnya agak ramping dibandingkan titian akar Pulut Pulut. Karena ia berada di hulu sungai tentu airnya sangat jernih. Dibawahnya tampak bermain ikan garing dan sebagainya.
Di Kampung ini hanya dihuni 35 Kepala Keluarga, masyarakatnya sangat sopan dan santun. Kampung yang bersahaja ini siangnya sangat sepi. Hanya gemericik air dan bunyi kincir yang terdengar. Masyarakatnya pergi keladang daa kesawah.
Sekitar 1,5 km dari titian akar ini, menuju ladang dan sawah masyarakat setempat anda akan menemui lagi sebuah titian akar nan esotik. Sunggu sangat alami. Fungsinya tetap sebagai sarana penyeberangan. "Kelebihan titian ini, selain terbilang cukup panjang, maka posisinya berada di air terjun kecil. Titian akar ini posisinya berada ditengah air yang terjun itu," kata Saharuddin, Kepala Kampung Bayang Janieh kepada penulis.
Menurutnya, umur titian akar di Bayang Janieh tidak jauh beda dengan di Puluik Puluik yang terkenal itu. Itu bisa dilihat dari kondisi fisik dan lingkaran tahunan pohonnya. Pembuatannya juga berkaitan erat dengan titian Puluik Puluik. Anda pecinta suasana kampung tengah rimba silahkan berkunjung untuk menyaksikan keajaiban alam ini.

Sejarah Kapal Pesisir Selatan




Laut Pesisir Selatan, Sumatera Barat menyimpan banyak kenangan yang patut dibaca kembali generasi penerus. Bahwa perairan di sebelah barat Pulau Sumatera ini pernah menumpuh masa jaya sebagai jalur perlintasan dan persinggahan kapal besar dari berbagai negara semenjak dahulu.
Sejumlah kapal kapal besarpun ketika masa jayanya perlintasan itu ada yang karam diamuk gelombang maupun akibat peperangan. Kapal kapal itu kemudian menjadi kapal legendaris yang dikenang orang di sana sepanjang masa.
Muara Ampiang Parak Kecamatan Sutera adalah salah satu saksi bisu kejayaan itu. Disana hingga saat ini masih diceritakan secara turun temurun kisah sebuah kapal legendaris yang karam dimuara tersebut. Kapal yang kemudian hanya dikenal dengan sebutan kapal dari Belanda.
Asridal (64) Tokoh Masyarakat setempat menyebutkan, disini pernah sebuah kapal milik Belanda karam. Hingga kini bangkai kapal itu diperkirakan berada disekitar pintu muara. Soal nama, hingga kini masih menjadi misteri, karena tidak ada catatan resmi terkait kapal tersebut.
Dikatakannya, proses dan bagaimana kapal itu bisa karam hanya dicertakan secara turun temurun di masayarakat. Lalu sebagai bentuk penghargaan kepada kapal legendaris itu, kawasan pantai di muara Ampiang Parak itu diberi nama pasia kapa (Pasir Kapal).
Salah satu ungkapan yang paling terkenal dimasyarakat hingga kini tentang kapal Belanda tersebut adalah barabah tabang ka juda, tibo dijuda makan padi, jembatan basi alun sudah, kapa lah karam di muaro. "Kapal itu diperkirakan karam di penghujung abad 19. Kapal itu mengangkut material bahan pembuat jembatan Amping Parak yang diangkut Belanda dari Jawa," katanya.
Kemudian informasi lain menyebutkan, kapal yang diperkirakan sekelas perintis itu karam ketika kapal hendak keluar dari muara setelah bongkar material selesai. Ketika kapal keluar, gelombang saat itu besar, lalu menyebabkan kapal karam. Namun seluruh awak kapal saat itu dikabarkan selamat.
"Dibawah tahun 70-an bagian kapal justeru ada yang menyembul keluar terutama ketika pasang susut. Bangkai kapal dapat dilihat dari atas sampan. Kapal itu diperkirakan memiliki panjang 70 hingga 80 meter," katanya.
Namun setelah itu, bangkai kapal itu tertimbun pasir akibat berubahnyanya pintu muara. Kapal itu kini tidak lagi dapat disaksikan karena tidak ada bagian kapal yang keluar. Kini warga hanya bisa menyaksikan empat buah tiang besi yang diduga berfungsi sebagai tambatan kapal.
Kapal legendaris selanjutnya dan paling menyedot perhatian publik dalam dan luar negeri adalah Boelungan Nederland. Kapal ini karam pada 28 Januari 1942, di Nagari Mandeh, Koto XI arusan.
Wali Nagari Mandeh Jarsil RB menyebutkan, Kapal Boelungan tenggelam setelah dibombardir Jepang. Sebelum di bom ia berada diluar Teluk Mandeh, lalu berupaya menyelamatkan diri ke dalam teluk.
"Kapal itu masuk dari pintu muara di Nagari Sungai Nyalo Mudik Aie yang bertetangga dengan Teluk Mandeh. Lalu, Boelongan berlindung di Teluk Dalam di antara Pulau Cubadak dan Pulau Taraju yang masih di kawasan perairan Mandeh. Hingga kini keberadaan bangkai kapal itu masih misterius meskipun beberapa kali telah diteliti orang,"katanya.
Keterangan Foto: Empat buah tiang besi yang menyembul di Muara Ampaing Parak Sutera, Pessel. Tiang ini diperkirakan dibangun tahun 1890 yang dipersiapkan untuktambatan kapal kapal besar.