Just another free Blogger theme

Sponsor

Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Friday, June 21, 2013


Indrapura, kesultanan (Kerajaan Islam Malayu, 1100 – 1911) terletak di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat sekarang. Pernah jaya abad XVII – XVIII, karena posisinya sebagai kota pantai, pusat perdagangan dengan komiditi unggulan emas dan lada, berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada kuat, ramai dikunjungi kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing (Yulizal Yunus, 2002)

Kesultanan Indrapura berdiri di atas keruntuhan Kerajaan lama Indrapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX sm – XII m (80 sm – 1100 m). Kerajaan Indrapura lama didirikan anak cucu leluhur Iskandar Zulkarnaini (356-324 sm, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336 sm). Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134 sm lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 sm menikah dengan Inderajati moyang Indrapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan keturunan raja-raja.

Pada Masa berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (awal abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Indrapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta mencari hasil hutan
Masa pemerintahan Zatullahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya (Hidayatullahsyah) yakni Sri Sultan Maharaja Alif, Sri Sultan Maharaja Depang dan Sri Sultan Maharaja Diraja, dari Rum lewat Bukit Siguntang-guntang. Tidak lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja mendapat perintah Zatullahsyah, pergi ke Gunung Merapi, didampingi temannya Cati Bilang Pandai dan dibantu putra sepupunya Sultan Muhammadsyah (putra Zatullahsyah – Dewi Gando Layu). Di sana ia mendirikan kerajaan di Parhyangan (Pariangan) yang disebut sebagai nagari asal seperti juga Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin dengan Puti Jamilan dan melahirkan Dt. Ketumanggungan, setelah Sri Sultan wafat Puti Jamilan dikawini temannya Cati Bilang Pandai dan melahirkan Dt. Parpatih nan Sabatang.

Di Kerajaan Air Pura kepemimpinan berlanjut dalam empat episode sejarah. Dua episode I (Kerajaan Air Pura – Indrajati) dan dua episode II (Kesultanan Indrapura – Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura dilanjutkan kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII – XVI (1100 – 1500). Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra mahkota Kerajaan Sriwijaya yang terusir karena masuk Islam, menetap di Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan Indrajati. Ia sendiri raja ke-1 dan raja ke-2 anaknya bernama Indrasyah Sultan Galomatsyah. Dlam perjalanannya kerajaan ini pernah diincer ekspedisi Pamalayu I (1247) di samping Darmasyraya, Siguntur yang kemudian menjadi Kerajaan Pagaruyung (1343).

Dua episode Kesultanan Indrapura berikutnya abad XVI – XIX (1500 – 1824) dilanjutkan era kepemimpinan Regen abad XIX – XX (1824 – 1911). Episode sejarah sampai naik tahtanya raja ke-11 Kerajaan Indrajati Cumatang Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah, kerajaan berubah menjadi Kesultanan Indrapura dengan raja ke-1 Cumatang sendiri. Penggalan sejarah berikutnya masa Sultan Usmansyah gelar Sultan Firmansyah, tahun 1550 dikukuhkan batas wilayah. Utara berbatas Airbangis-Batang Toru (Batak), Selatan berbatas Taratak Air Hitam Muara Ketaun, Timur berbatas Durian ditakuak Rajo, Nibuang balantak mudik lingkaran Tanjung Simeledu (sepadan Jambi) dan Barat berbatas laut leba ombak badebu (Samudra Indonesia). Wilayah semakin menyusut diawali berberapa daerah Kesultanan Indrapura pro Inggiris yakni Mukomuko, Banta, Seblat dan Ketaun memisahkan diri tahun 1695 jadi Kerajaan Anak Sungai dengan ibu negeri Mukomuko, dipimpin Sultan Gelomatsyah.

Organisasi pemerintahan Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), didlaksanakan Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). Raja-raja Kesultanan Indrapura banyak sekali, di antaranya keturunan asli Indrapura dan dianggap keturunan Iskandar Zulkarnaini (Marjohan, 2002 baca juga St. Sulaiman, 2002) menjadi raja ialah: (1) Zatullahsyah paman Sri Sultan Maharaja Diraja, (2) Daulat Jamal al- Alam Sultan Sri Maharajo Dirajo Muhyiddinsyah Sultan Muhammadsyah, (3) Sultan Jamal al-Alam Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo Alamsyah, (4) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Firmansyah (5) Sultan Jamal al-Alam Sultan Daulat Alamsyah, (6) Sultan Jamal al-Alam Sultan Usmansyah Sultan Muhammadsyah (Tuanku Berdarah Putih), (7) Sultan Jamal al-Alam Sultan Firmansyah Sultan Mandaro Putih gelar Tuanku Hilang di Parit), (8) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Muhammadsyah (Marah Muhammad Ali Akbar Sultan Muhammadsyah), (9) Iskandar Alam Daulat, (10) Sultan Alam Mughatsyah, (11) Sultan Bagagar Alamsyah, (12) Sultan Usman Sultan Muhammadsyah, (13) Sultan Jamal al-Alam Sultan Maradu Alamsyah, (14) Sultan Alidinsyah (15) Sultan Samejalsyah keturunan Putri Gembalo Intan anak Sultan Alidinsyah raja Indrapura (1513), (16) Sultan Baridinsyah (1520), (17) Dang Tuanku (1520 – 1524) beristeri Puti Bungsu, makamnya di Bukit Selasih Batangkapas, (18) Usmansyah Sultan Firmansyah (1534 – 1556), (19) Sultan Jamalul Alam YDD Sultan Sri Gegar Alamsyah Sultan Muhammadsyah (1560), (20) Sultan Zamzamsyah Sultan Muhammadsyah , 1600-1635, (21) Sultan Khairullahsyah Sultan Muhammadsyah (1635-1660), (22) Sultan Bangun Sri Sultan Gandamsyah, (23) Sri Sultan Daulat Pesisir Barat, (24) Inayatsyah (1640), (25) Sultan Mal(z)afarsyah Kerajaan Indrapura (1660-1687), (26) Marah Amirullah Sultan Firmansyah, (27) Raja Adil (1680), (28) Marah Akhirullah Sultan Muhammadsyah (w.1838), (29) Raja Perempuan Puti Rekna Candra Dewi, (30) Raja Perempuan Puti Rekna Alun (Tuanku Padusi Nan Gepuk), (31) Raja Gedang di Mukomuko, (32) Sultan Syahirullahsyah Sultan Firmansyah (1688-1707), (33) Sultan Zamzamsyah Sultan Firmansyah Tuanku Pulang Dari Jawa berhubungan dengan Kesultanan Jogyakarta (1707-1737), (34) Sultan Indar Rahimsyah Sultan Muhammadsyah Tuanku Pulang Dari Jawa (1774-1804), (35) Sultan Inayatsyah Sultan Firmansyah, 1804-1840, (36) Sultan Muhammad Jayakarma (1818 – 1824), (37) Sultan Takdir Khalifatullah Inayatsyah, (38) Abdul Muthalib Sultan Takdir Khalifatullahsyah (kemudian menajdi regen di Mukomuko, pensiun 1870). (39) Regen Marah Yahya Ahmadsyah (1825-1857), (40) Regen Marah Arifin (1857-1858), (41) Regen Marah Muhammad Baki Sultan Firman Syah (1858-1891), (42) Regen Marah Rusli Sultan Abdullah (1891 – 1911).Banyak lagi raja yang tidak dapat dicatat kebesarannya.

Pengaruh Kerajaan Indrapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Indrapura ke Natal dan mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44). Dari asal Puti Indrapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Indrapura, ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari Kesultanan Indrapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari Mukomuko (Agus Yusuf dari Sutan Aminullah, 2003).

Sebagai kerajaan bahari terbesar dan jaya, pernah menjadi ajang percaturan imperialisme asing berebut pengaruh, di antaranya secara kronogis dapat dicatat: (1) Aceh (ketika itu asing) tahun 1521 menguasai dagang lada dan emas di perairan Indrapura. 1625 Aceh menempatkan seorang wakilnya/ panglima (lihat juga Navis, 1984) di bandar Indrapura, secara de facto berakhir 1632, tetapi tetap bercokol sampai abad ke-17 dasawarsa ke-8 di Pantai Barat Sumatera. (2) Belanda (Rusli Amran 1985, lihat juga Errens 1931, baca Stibe 1939) memasuki wilayah Indrapura (1602, 20 Maret), Coen (VOC) mengirim kapal dagang (1616) merebut lada dan emas dari Aceh dan Inggiris, kandas dicegat raja Hitam, kemudian (1664) berhasil dan memungut pajak lada Indrapura, setiap 1200 bahar lada dikeluarkan 1 bahar, menghabisi wilayah kantong Aceh dan merebut kapal Inggiris di Indrapura (1656), terpaksa ke meja perunding damai di Sungai Bungin (Batangkapas) soal perdagangan lada Indrapura (1660), mendirikan Loji VOC 1662 di Pulau Cingkuk, tersayat dan terpaksa lagi ke meja perundingan Sandiwara Batangkapas disusul Perjanjian Painan (Painansch Contract, 6 Juli 1663), mendirikan Loji VOC di Indrapura (1664), hasut Air Haji (Bruins,1936) memberontak terhadap Indrapura (1682). Jacob Groenewegen mulai berkuku di Pantai Barat Sumatera mengawali kolonialisme, Januari 1685 Indrapura dinyatakan darutat, Batavia perintahkan hancurkan lada Indrapura untuk taklukan Indrapura. Rakyat marah, 6 Juni 1701, lonji VOC di Indrapura diserbu rakyat Pesisir, pegawainya dibunuh, kecuali satu orang dibiarkan mengadu ke kantor pusat VOC di Padang, Belanda marah dan hancurkan tanaman lada. 1740, Indrapura bersama Abdul Jalil raja Minangkabau memerangi Belanda dibantu Inggiris. Belanda dapat angin lagi pasca perjanjian masang 22 Januari 1824 Belanda (van den Berg) dan Pidari (Paderi) berdampak Indrapura bangkrut, semua kapal berkebangsaan apa saja bongkar muat barang di Padang tidak lagi di Indrapura bahkan tambang emas Salido dikuasai pasca pergantian Raff dengan Du Puy (1 Januari 1824). Tahun 1865 Belanda dirikan sekolah sejenis HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Indrapura dengan tujuan melumpuhkan Islam (de-Islamisasi), rakyat tahu niat jahat itu, lalu ditutup. (3) Inggiris terisolasi di perairan Indrapura (1618) dalam berdagang landa pasca 2 tahun monopoli, baru bisa meraut lada Juni 1684 dan mendirikan Loji di Indrapura. 1685 mendapat dukungan dagang dari Raja Ibarahim (bekas penghulu Pariaman, 1676) di Indrapura, juga dukungan keponakan raja Minangkabau Sultan Abdul Jalil Saruaso berunding dengan raja Indrapura, melawan misi Belanda hancurkan lada Indrapura, Juni 1685 East India Company (EIC) mendirikan kantor perwakilan settlement di Indrapura, Majunto, Taluk dll., menguasai Selebar, membakar kemarahan Belanda, baru reda pasca Perjanjian Paris (1763) membagi wilayah dagang: Inggiris ke selatan (Majunto – Silebar) dan VOC ke utara (Indrapura, Tiku, Air Bangis, Natal dll.). Tahun 1686, Kapal Royal James gagal raut lada, 30 dari 100 tentara meninggal diserang penyakit di Indrapura. 1687, Agustus kantor Inggiris diserang rakyat Indrapura, banyak korban di pihak Inggiris dan merampas meriam serta melumpuhkan 5 kapal yang datang kemudian dari Eropa, juga diserang kekuasaan Sri Sultan Ahmadsyah seorang calon raja Pagaruyung yang lari ke Bengkulu. (4) Cina tahun 1989 datang berdagang ke Indrapura 9 tahun pasca perjanjian pemuka kota pantai dari Ombak Ketaun (Pesisir Selatan) hingga Air Bangis (Pesisir Utara, Pasaman Barat sekarang) ditandatangani (1680) oleh Raja Adil dan Muhammadsyah (sultan Indrapura) sedikit memberi ruang gerak kepada VOC berdagang lada dan emas.

Bukti sejarah kebesaran Kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya (1) bekas istana Raja/ Sultan (1824), (2) bekas istana Regen di Pasar Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768, (3) Rumah Mangkubumi (perdana menteri) Kesultanan, (4) Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatera Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung). (5) Situs dalam bentuk arsitektur sakral (imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin. (6) Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam raja Tuanku Badarah Putih. (7) Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja perempuan Pagaruyung), (8) Makam Dang Tuanku, (9) Makam Puti Bungsu istri Dang Tuanku. (10) Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang.


Tuesday, April 16, 2013

Jembatan Akar ( Pesisir Selatan) 


Rupanya, titian akar yang selama ini kita kenal di Puluik Puluik, bukanlah satu satunya jembatan akar di dunia. Masih ada tiga (satu sudah mati) jembatan akar lainnya yang belum terekspos ke luar. Ia tersuruk dari keramaian dan sulit pula dijangkau kendaraan. Meski demikian ketiga titian akar di Pesisir Selatan (Pessel) diperkirakan berumur sama dan dirintis oleh orang yang sama pula. Ketiganya berpotensi pula untuk di garap menjadi objek wisata handal.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang ketiga titian akar tersebut, berikut penulis laporkan dari Bayang Utara, Pesisir Selatan setelah melakukan sejumlah pengumpulan informasi dari warga setempat dan berkunjung langsung ke lokasi. Mulai dari asal usul hingga posisi titian akar dimaksud.
Kita mulai dari titian akar yang paling terkenal. Ia berada disebuah kampung yang bernama Kampung Puluik Puluik, Kenagarian Puluik Puluik, Kecamatan IV Nagari Bayang Utara, Kabupaten Pesisir Selatan (sekitar 25 km dari Pasar Baru, Bayang).
Di sini telah dilahirkan seorang anak yang kemudian tumbuh menjadi manusia kreatif. Anak tersebut bernama Sokan, dan setelah dewasa akrab di panggil Pakiah Sokan.
Pakiah Sokan tinggal tidak jauh dari lokasi titian akar yang ada saat ini. Pada masa belia hingga beranjak dewasa otaknya selalu berfikir untuk memberikan solusi terhadap persoalan buruknya sarana transportasi di kampungnya. Yang paling mendesak menurutnya untuk segera ada adalah jembatan penghubung dari Puluik Puluik ke Lubuk Silau.
Saban waktu disaksikannya warga kampung yang juga tentu anak keponakannya sendiri di Lubuak Silau selalu menyeberangi sungai untuk pergi kepasar atau sekedar ke Puluik Puluik. Atau paling baik sarana yang ada pada saat itu adalah titian dari bambu belaka, setiap kali air sungai ini besar maka jembatan yang terbuat dari bambu ini akan terbawa arus air. Tidak hanya itu, penyeberangan seperti itu sangat membahayakan masyarakat.
Maka terfikirlah untuk membuat jembatan dari akar. Pakiah Sokan melakukan survei terhadap kayu yang memiliki akar kuat dan panjang, dan bisa menyatu satu sama lainnya. Di pelajarinya jenis kayu kayuan di hutan yang ada disekitar kampungnya. Setelah mematut matut apakah gerangan jenis kayu yang bisa dipergunakan untuk bahan pembuat jembatan, akhirnya pilihan jatuh pohon kubang dan beringin. Semuanya telah dengan pertimbangan sangat matang, mulai dari kekuatan pohon, kekuatan akar dan lain sebagainya.
Tahun 1916 Pakiah Sokan ini mulai menanam dua batang pohon tersebut. Masing masing ditanam secara berseberangan, di seberang sebelah Kampung Puluik Puluik ditanam pohon kubang dan diseberang sebelah dusun Lubuak Silau di tanam pohon beringin.
Semenjak ditanam pada tahun 1916 ini, dirawatlah pohon yang kemudian hari menjadi sangat terkenal. Setelah tumbuh dengan baik, maka di pasangnya bambu seperti jembatan sebelumnya dan setalah kayu yang ditanam beliau mulai besar dan akarnya mulai banyak, mulailah Pakiah Sokan menjalin (menganyam) akar ini satu persatu dan mengikuti titian bambu.
"Setiap hari angku Pakiah Sokan menjalin akar demi akar dan sampai terjadinya jembatan akar ini. Pada tahun sembilan puluhan barulah jembatan akar ini di perkenalkan dan di jadikan objek wisata sampai saat ini. Jembatan akar ini sudah dikenali oleh wisatawan lokal dan sebagian wisatawan mancanegara," ungkap Riko Eka Putra" cucu Pakiah Sokan. Demikian titian akar Puluik Puluik.
Lantas titian akar kedua dan ketiga bisa anda temukan dengan bergerak menuju hulu Batang Bayang, tepatnya ke Kampung Bayang Janieh, Nagari Koto Ranah. Dari Puluik Puluik ke ibu nagari Koto Ranah hanya sekitar 2 km, dari ibu nagari ke Kampung Bayang Janieh sekitar 5 km, jalannya agak menantang memang, tapi bagi pecandu suasana alami ini akan menjadi daya tarik sendiri.
Sesampai di gerbang Kampuang Bayang Janieh nan bersahaja itu, anda akan di sambut langsung titian akar yang panjangnya sekitar 12 meter. Modelnya agak ramping dibandingkan titian akar Pulut Pulut. Karena ia berada di hulu sungai tentu airnya sangat jernih. Dibawahnya tampak bermain ikan garing dan sebagainya.
Di Kampung ini hanya dihuni 35 Kepala Keluarga, masyarakatnya sangat sopan dan santun. Kampung yang bersahaja ini siangnya sangat sepi. Hanya gemericik air dan bunyi kincir yang terdengar. Masyarakatnya pergi keladang daa kesawah.
Sekitar 1,5 km dari titian akar ini, menuju ladang dan sawah masyarakat setempat anda akan menemui lagi sebuah titian akar nan esotik. Sunggu sangat alami. Fungsinya tetap sebagai sarana penyeberangan. "Kelebihan titian ini, selain terbilang cukup panjang, maka posisinya berada di air terjun kecil. Titian akar ini posisinya berada ditengah air yang terjun itu," kata Saharuddin, Kepala Kampung Bayang Janieh kepada penulis.
Menurutnya, umur titian akar di Bayang Janieh tidak jauh beda dengan di Puluik Puluik yang terkenal itu. Itu bisa dilihat dari kondisi fisik dan lingkaran tahunan pohonnya. Pembuatannya juga berkaitan erat dengan titian Puluik Puluik. Anda pecinta suasana kampung tengah rimba silahkan berkunjung untuk menyaksikan keajaiban alam ini.

Sejarah Kapal Pesisir Selatan




Laut Pesisir Selatan, Sumatera Barat menyimpan banyak kenangan yang patut dibaca kembali generasi penerus. Bahwa perairan di sebelah barat Pulau Sumatera ini pernah menumpuh masa jaya sebagai jalur perlintasan dan persinggahan kapal besar dari berbagai negara semenjak dahulu.
Sejumlah kapal kapal besarpun ketika masa jayanya perlintasan itu ada yang karam diamuk gelombang maupun akibat peperangan. Kapal kapal itu kemudian menjadi kapal legendaris yang dikenang orang di sana sepanjang masa.
Muara Ampiang Parak Kecamatan Sutera adalah salah satu saksi bisu kejayaan itu. Disana hingga saat ini masih diceritakan secara turun temurun kisah sebuah kapal legendaris yang karam dimuara tersebut. Kapal yang kemudian hanya dikenal dengan sebutan kapal dari Belanda.
Asridal (64) Tokoh Masyarakat setempat menyebutkan, disini pernah sebuah kapal milik Belanda karam. Hingga kini bangkai kapal itu diperkirakan berada disekitar pintu muara. Soal nama, hingga kini masih menjadi misteri, karena tidak ada catatan resmi terkait kapal tersebut.
Dikatakannya, proses dan bagaimana kapal itu bisa karam hanya dicertakan secara turun temurun di masayarakat. Lalu sebagai bentuk penghargaan kepada kapal legendaris itu, kawasan pantai di muara Ampiang Parak itu diberi nama pasia kapa (Pasir Kapal).
Salah satu ungkapan yang paling terkenal dimasyarakat hingga kini tentang kapal Belanda tersebut adalah barabah tabang ka juda, tibo dijuda makan padi, jembatan basi alun sudah, kapa lah karam di muaro. "Kapal itu diperkirakan karam di penghujung abad 19. Kapal itu mengangkut material bahan pembuat jembatan Amping Parak yang diangkut Belanda dari Jawa," katanya.
Kemudian informasi lain menyebutkan, kapal yang diperkirakan sekelas perintis itu karam ketika kapal hendak keluar dari muara setelah bongkar material selesai. Ketika kapal keluar, gelombang saat itu besar, lalu menyebabkan kapal karam. Namun seluruh awak kapal saat itu dikabarkan selamat.
"Dibawah tahun 70-an bagian kapal justeru ada yang menyembul keluar terutama ketika pasang susut. Bangkai kapal dapat dilihat dari atas sampan. Kapal itu diperkirakan memiliki panjang 70 hingga 80 meter," katanya.
Namun setelah itu, bangkai kapal itu tertimbun pasir akibat berubahnyanya pintu muara. Kapal itu kini tidak lagi dapat disaksikan karena tidak ada bagian kapal yang keluar. Kini warga hanya bisa menyaksikan empat buah tiang besi yang diduga berfungsi sebagai tambatan kapal.
Kapal legendaris selanjutnya dan paling menyedot perhatian publik dalam dan luar negeri adalah Boelungan Nederland. Kapal ini karam pada 28 Januari 1942, di Nagari Mandeh, Koto XI arusan.
Wali Nagari Mandeh Jarsil RB menyebutkan, Kapal Boelungan tenggelam setelah dibombardir Jepang. Sebelum di bom ia berada diluar Teluk Mandeh, lalu berupaya menyelamatkan diri ke dalam teluk.
"Kapal itu masuk dari pintu muara di Nagari Sungai Nyalo Mudik Aie yang bertetangga dengan Teluk Mandeh. Lalu, Boelongan berlindung di Teluk Dalam di antara Pulau Cubadak dan Pulau Taraju yang masih di kawasan perairan Mandeh. Hingga kini keberadaan bangkai kapal itu masih misterius meskipun beberapa kali telah diteliti orang,"katanya.
Keterangan Foto: Empat buah tiang besi yang menyembul di Muara Ampaing Parak Sutera, Pessel. Tiang ini diperkirakan dibangun tahun 1890 yang dipersiapkan untuktambatan kapal kapal besar.