Indrapura, kesultanan (Kerajaan Islam Malayu, 1100 – 1911) terletak di
wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat sekarang. Pernah jaya abad
XVII – XVIII, karena posisinya sebagai kota pantai, pusat perdagangan dengan
komiditi unggulan emas dan lada, berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada
kuat, ramai dikunjungi kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing
(Yulizal Yunus, 2002)
Kesultanan Indrapura berdiri di atas keruntuhan
Kerajaan lama Indrapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX sm – XII
m (80 sm – 1100 m). Kerajaan Indrapura lama didirikan anak cucu leluhur
Iskandar Zulkarnaini (356-324 sm, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336
sm). Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134
sm lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 sm
menikah dengan Inderajati moyang Indrapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan
keturunan raja-raja.
Pada Masa berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (awal abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Indrapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta mencari hasil hutan
Masa
pemerintahan Zatullahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya
(Hidayatullahsyah) yakni Sri Sultan Maharaja Alif, Sri Sultan Maharaja Depang
dan Sri Sultan Maharaja Diraja, dari Rum lewat Bukit Siguntang-guntang. Tidak
lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja mendapat perintah Zatullahsyah,
pergi ke Gunung Merapi, didampingi temannya Cati Bilang Pandai dan dibantu
putra sepupunya Sultan Muhammadsyah (putra Zatullahsyah – Dewi Gando Layu). Di
sana ia mendirikan kerajaan di Parhyangan (Pariangan) yang disebut sebagai
nagari asal seperti juga Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin dengan Puti
Jamilan dan melahirkan Dt. Ketumanggungan, setelah Sri Sultan wafat Puti
Jamilan dikawini temannya Cati Bilang Pandai dan melahirkan Dt. Parpatih nan
Sabatang.
Di
Kerajaan Air Pura kepemimpinan berlanjut dalam empat episode sejarah. Dua
episode I (Kerajaan Air Pura – Indrajati) dan dua episode II (Kesultanan
Indrapura – Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura dilanjutkan
kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII – XVI (1100 – 1500).
Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra mahkota Kerajaan Sriwijaya yang
terusir karena masuk Islam, menetap di Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan
Indrajati. Ia sendiri raja ke-1 dan raja ke-2 anaknya bernama Indrasyah Sultan
Galomatsyah. Dlam perjalanannya kerajaan ini pernah diincer ekspedisi Pamalayu
I (1247) di samping Darmasyraya, Siguntur yang kemudian menjadi Kerajaan
Pagaruyung (1343).
Dua
episode Kesultanan Indrapura berikutnya abad XVI – XIX (1500 – 1824)
dilanjutkan era kepemimpinan Regen abad XIX – XX (1824 – 1911). Episode sejarah
sampai naik tahtanya raja ke-11 Kerajaan Indrajati Cumatang Sultan Sakelab
Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah, kerajaan berubah menjadi Kesultanan
Indrapura dengan raja ke-1 Cumatang sendiri. Penggalan sejarah berikutnya masa
Sultan Usmansyah gelar Sultan Firmansyah, tahun 1550 dikukuhkan batas wilayah.
Utara berbatas Airbangis-Batang Toru (Batak), Selatan berbatas Taratak Air
Hitam Muara Ketaun, Timur berbatas Durian ditakuak Rajo, Nibuang balantak mudik
lingkaran Tanjung Simeledu (sepadan Jambi) dan Barat berbatas laut leba ombak
badebu (Samudra Indonesia). Wilayah semakin menyusut diawali berberapa daerah
Kesultanan Indrapura pro Inggiris yakni Mukomuko, Banta, Seblat dan Ketaun
memisahkan diri tahun 1695 jadi Kerajaan Anak Sungai dengan ibu negeri
Mukomuko, dipimpin Sultan Gelomatsyah.
Organisasi
pemerintahan Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer,
dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), didlaksanakan Perdana Mentri (Mangkubumi)
dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir).
Raja-raja Kesultanan Indrapura banyak sekali, di antaranya keturunan asli
Indrapura dan dianggap keturunan Iskandar Zulkarnaini (Marjohan, 2002 baca juga
St. Sulaiman, 2002) menjadi raja ialah: (1) Zatullahsyah paman Sri Sultan
Maharaja Diraja, (2) Daulat Jamal al- Alam Sultan Sri Maharajo Dirajo
Muhyiddinsyah Sultan Muhammadsyah, (3) Sultan Jamal al-Alam Daulat Sultan Sri Maharajo
Dirajo Alamsyah, (4) Sultan Jamal al-Alam Sri Sultan Firmansyah (5) Sultan
Jamal al-Alam Sultan Daulat Alamsyah, (6) Sultan Jamal al-Alam Sultan Usmansyah
Sultan Muhammadsyah (Tuanku Berdarah Putih), (7) Sultan Jamal al-Alam Sultan
Firmansyah Sultan Mandaro Putih gelar Tuanku Hilang di Parit), (8) Sultan Jamal
al-Alam Sri Sultan Muhammadsyah (Marah Muhammad Ali Akbar Sultan Muhammadsyah),
(9) Iskandar Alam Daulat, (10) Sultan Alam Mughatsyah, (11) Sultan Bagagar
Alamsyah, (12) Sultan Usman Sultan Muhammadsyah, (13) Sultan Jamal al-Alam
Sultan Maradu Alamsyah, (14) Sultan Alidinsyah (15) Sultan Samejalsyah
keturunan Putri Gembalo Intan anak Sultan Alidinsyah raja Indrapura (1513),
(16) Sultan Baridinsyah (1520), (17) Dang Tuanku (1520 – 1524) beristeri Puti
Bungsu, makamnya di Bukit Selasih Batangkapas, (18) Usmansyah Sultan Firmansyah
(1534 – 1556), (19) Sultan Jamalul Alam YDD Sultan Sri Gegar Alamsyah Sultan
Muhammadsyah (1560), (20) Sultan Zamzamsyah Sultan Muhammadsyah , 1600-1635,
(21) Sultan Khairullahsyah Sultan Muhammadsyah (1635-1660), (22) Sultan Bangun
Sri Sultan Gandamsyah, (23) Sri Sultan Daulat Pesisir Barat, (24) Inayatsyah
(1640), (25) Sultan Mal(z)afarsyah Kerajaan Indrapura (1660-1687), (26) Marah
Amirullah Sultan Firmansyah, (27) Raja Adil (1680), (28) Marah Akhirullah
Sultan Muhammadsyah (w.1838), (29) Raja Perempuan Puti Rekna Candra Dewi, (30)
Raja Perempuan Puti Rekna Alun (Tuanku Padusi Nan Gepuk), (31) Raja Gedang di
Mukomuko, (32) Sultan Syahirullahsyah Sultan Firmansyah (1688-1707), (33)
Sultan Zamzamsyah Sultan Firmansyah Tuanku Pulang Dari Jawa berhubungan dengan
Kesultanan Jogyakarta (1707-1737), (34) Sultan Indar Rahimsyah Sultan
Muhammadsyah Tuanku Pulang Dari Jawa (1774-1804), (35) Sultan Inayatsyah Sultan
Firmansyah, 1804-1840, (36) Sultan Muhammad Jayakarma (1818 – 1824), (37)
Sultan Takdir Khalifatullah Inayatsyah, (38) Abdul Muthalib Sultan Takdir
Khalifatullahsyah (kemudian menajdi regen di Mukomuko, pensiun 1870). (39)
Regen Marah Yahya Ahmadsyah (1825-1857), (40) Regen Marah Arifin (1857-1858),
(41) Regen Marah Muhammad Baki Sultan Firman Syah (1858-1891), (42) Regen Marah
Rusli Sultan Abdullah (1891 – 1911).Banyak lagi raja yang tidak dapat dicatat
kebesarannya.
Pengaruh
Kerajaan Indrapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke
Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan
Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Indrapura ke Natal dan
mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan
Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44).
Dari asal Puti Indrapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir
rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Indrapura,
ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari
Kesultanan Indrapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam
acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari
Mukomuko (Agus Yusuf dari Sutan Aminullah, 2003).
Sebagai
kerajaan bahari terbesar dan jaya, pernah menjadi ajang percaturan imperialisme
asing berebut pengaruh, di antaranya secara kronogis dapat dicatat: (1) Aceh
(ketika itu asing) tahun 1521 menguasai dagang lada dan emas di perairan
Indrapura. 1625 Aceh menempatkan seorang wakilnya/ panglima (lihat juga Navis,
1984) di bandar Indrapura, secara de facto berakhir 1632, tetapi tetap bercokol
sampai abad ke-17 dasawarsa ke-8 di Pantai Barat Sumatera. (2) Belanda (Rusli
Amran 1985, lihat juga Errens 1931, baca Stibe 1939) memasuki wilayah Indrapura
(1602, 20 Maret), Coen (VOC) mengirim kapal dagang (1616) merebut lada dan emas
dari Aceh dan Inggiris, kandas dicegat raja Hitam, kemudian (1664) berhasil dan
memungut pajak lada Indrapura, setiap 1200 bahar lada dikeluarkan 1 bahar,
menghabisi wilayah kantong Aceh dan merebut kapal Inggiris di Indrapura (1656),
terpaksa ke meja perunding damai di Sungai Bungin (Batangkapas) soal
perdagangan lada Indrapura (1660), mendirikan Loji VOC 1662 di Pulau Cingkuk,
tersayat dan terpaksa lagi ke meja perundingan Sandiwara Batangkapas disusul
Perjanjian Painan (Painansch Contract, 6 Juli 1663), mendirikan Loji VOC di
Indrapura (1664), hasut Air Haji (Bruins,1936) memberontak terhadap Indrapura
(1682). Jacob Groenewegen mulai berkuku di Pantai Barat Sumatera mengawali
kolonialisme, Januari 1685 Indrapura dinyatakan darutat, Batavia perintahkan
hancurkan lada Indrapura untuk taklukan Indrapura. Rakyat marah, 6 Juni 1701,
lonji VOC di Indrapura diserbu rakyat Pesisir, pegawainya dibunuh, kecuali satu
orang dibiarkan mengadu ke kantor pusat VOC di Padang, Belanda marah dan
hancurkan tanaman lada. 1740, Indrapura bersama Abdul Jalil raja Minangkabau
memerangi Belanda dibantu Inggiris. Belanda dapat angin lagi pasca perjanjian
masang 22 Januari 1824 Belanda (van den Berg) dan Pidari (Paderi) berdampak
Indrapura bangkrut, semua kapal berkebangsaan apa saja bongkar muat barang di
Padang tidak lagi di Indrapura bahkan tambang emas Salido dikuasai pasca
pergantian Raff dengan Du Puy (1 Januari 1824). Tahun 1865 Belanda dirikan
sekolah sejenis HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Indrapura dengan tujuan
melumpuhkan Islam (de-Islamisasi), rakyat tahu niat jahat itu, lalu ditutup.
(3) Inggiris terisolasi di perairan Indrapura (1618) dalam berdagang landa
pasca 2 tahun monopoli, baru bisa meraut lada Juni 1684 dan mendirikan Loji di
Indrapura. 1685 mendapat dukungan dagang dari Raja Ibarahim (bekas penghulu
Pariaman, 1676) di Indrapura, juga dukungan keponakan raja Minangkabau Sultan
Abdul Jalil Saruaso berunding dengan raja Indrapura, melawan misi Belanda
hancurkan lada Indrapura, Juni 1685 East India Company (EIC) mendirikan kantor
perwakilan settlement di Indrapura, Majunto, Taluk dll., menguasai Selebar,
membakar kemarahan Belanda, baru reda pasca Perjanjian Paris (1763) membagi
wilayah dagang: Inggiris ke selatan (Majunto – Silebar) dan VOC ke utara
(Indrapura, Tiku, Air Bangis, Natal dll.). Tahun 1686, Kapal Royal James gagal
raut lada, 30 dari 100 tentara meninggal diserang penyakit di Indrapura. 1687,
Agustus kantor Inggiris diserang rakyat Indrapura, banyak korban di pihak
Inggiris dan merampas meriam serta melumpuhkan 5 kapal yang datang kemudian
dari Eropa, juga diserang kekuasaan Sri Sultan Ahmadsyah seorang calon raja
Pagaruyung yang lari ke Bengkulu. (4) Cina tahun 1989 datang berdagang ke
Indrapura 9 tahun pasca perjanjian pemuka kota pantai dari Ombak Ketaun
(Pesisir Selatan) hingga Air Bangis (Pesisir Utara, Pasaman Barat sekarang)
ditandatangani (1680) oleh Raja Adil dan Muhammadsyah (sultan Indrapura)
sedikit memberi ruang gerak kepada VOC berdagang lada dan emas.
Bukti
sejarah kebesaran Kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di
Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di
antaranya (1) bekas istana Raja/ Sultan (1824), (2) bekas istana Regen di Pasar
Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768, (3) Rumah Mangkubumi
(perdana menteri) Kesultanan, (4) Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang,
berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja
putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu)
kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja
Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatera
Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina
(keturunan ke-7 dari Bundo Kandung). (5) Situs dalam bentuk arsitektur sakral
(imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin. (6)
Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam
raja Tuanku Badarah Putih. (7) Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja
perempuan Pagaruyung), (8) Makam Dang Tuanku, (9) Makam Puti Bungsu istri Dang
Tuanku. (10) Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang.